1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah
generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik
atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat
kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang
bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai
Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan
teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana
hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda
Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi
sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset,
VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena
sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat
bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm,
hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar
terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak
dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan
seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan
merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya
kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang
berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan
Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan
radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang
ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun
demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami
tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya
berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib
melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita
lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan
Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan
menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami
yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan
akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar
untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif
Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan
bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami
yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal
di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita
akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan
untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni
adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang
dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat
ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni
lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang
berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat
musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen
musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni
musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia
(tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni
instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang
diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah
seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan
oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut
dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano,
dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes
simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3. Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan
pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada
dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu
sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum
memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih
beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak,
ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik
dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam
berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain
musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik
bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang
termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam,
hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini
akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya.
Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan
pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni).
Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan.
Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil
masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu, juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan
Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka
itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua
syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada
dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu:
1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling
syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah
sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan
ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu
melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui
batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami
mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya
terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas
dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba
perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang
yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara
mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati
shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka
Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar